
Lenterainspiratif.com | Opini – Sebagai warga sekaligus pemuda pemudi suatu daerah sudah seharusnya mengenal lebih dalam dan bangga terhadap tempat kelahirannya. Seperti saya yang lahir dan tumbuh besar di suatu daerah berjulukan kota Majapahit ini. Ya benar! Mojokerto. Syukurlah jika kalian masih mengenal Mojokerto sebagai kota Majapahit, karena hampir hanya itu yang menjadi ikon utama daerah ini hehe. Bukan berarti saya meremehkan tempat saya lahir lho ya. Memang faktanya begitu. Beberapa kesempatan ketika saya bertemu orang baru atau teman luar kota, tak jarang yang menanyakan “Mojokerto itu ikonnya apa?”, ternyata yang mampu saya jawab dengan matang adalah peninggalan kerajaan Majapahitnya yang melegenda dan sedikit keseniannya yang masih aktif di budayakan secara besar-besaran. Tapi sebagai pemudi daerah ini saya selalu berharap kesenian di Mojokerto dapat di ulik dan dibudayakan secara besar-besaran atau bahkan menciptakan ikon baru untuk Mojokerto.
Saat beberapa kali saya mencoba ngobrol dengan teman saya yang berdomisili luar kota ini, yang notabennya mereka tidak terlalu mengenal Mojokerto, saya menemukan beberapa presepsi mereka yang salah kaprah tentang daerah ini. Ya, sewajarnya kota-kota lainnya di Indonesia ada beragam kebohongan pada setiap sudut mata yang memandangnya. Tidak terkecuali Mojokerto. Dan selayaknya dua sisi mata uang logam, kebohongan terdapat sisi baik dan buruknya.
1. Apapun Harganya Murah
Maaf kali ini saya buka dengan kebohongan yang negatif. Tapi serupa kata pepatah “Lebih baik merasakan pahitnya kejujuran daripada manisnya kebohongan”. Benar memang biaya hidup tergantung individu masing-masing. Tapi jujur bahkan di perdesaan disini kini baya hidup cukup mahal di banding daerah-daerah seperti Banyuwangi dan Ponorogo. Mengapa saya menyebut dua daerah tersebut? Ya karena saya membandingkan dua daerah itu dengan Mojokerto dengan berbincang bersama kawan yang berdomisili saya. Bayangkan jika dilihat dari harga makanannya, disini soto ayam saya paling murah 10 ribu, bahkan saya kemarin makan soto ayam di daerah Surodinawan harganya 12 ribu. Sementara di Ponorogo hanya 7-8 ribu. Begitupula ketika saya berkesempatan berlibur ke Kawah Ijen di Banyuwangi/ total biaya yang saya keluarkan hanya 15 ribu, sangat kontras dengan harga masuk wisata air panas Padusan di Mojokerto yang hampir merogoh kocek 30-35 ribu padahal ya dari segi estetika wisata yang ditawarkan saja sangat jauh berbeda, hehehe. Memang sangat amatir membandingkan biaya hidup secara keseluruhan dengan mengambil sampel harga makanan dan biaya masuk wisata, tapi setidaknya itu yang bisa menjadi referensi saya. Jadi, buat kalian yang mau berwisata ke Mojokerto jangan lupa persiapkan biaya yang cukup ya lur. Hehe
2. Kota terkecil di Indonesia
Ketika iseng mencari kata “Mojokerto” di situs pencarian, maka yang pertama kali di muncul adalah keunikannya yang tertulis “Kota Terkecil di Indonesia”. Ini sungguh kebohongan, pasalnya iya memang Mojokerto adalah salah satu kota terkecil di Indonesia, tetapi bukan yang paling kecil. Sebab kota yang paling kecil di Indonesia adalah Kota Sibolga yang terletak di Sumatera Utara. Boleh saya terbak? Pasti kalian jarang mendengar kota ini kan? Sama saya juga wkwkw. Kota Sibolga memiliki luas 10,77 km persegi atau setara dengan 107.700 hektar. Luas ini lebih kecil dari Kota Mojokerto, yaitu 20,21 km persegi.
3. Wisata yang itu-itu saja.
Seperti tulisan saya diatas, Mojokerto identik dengan wisata sejarah seputar kerajaan Mapajahit. Tetapi jangan salah, banyak sekali wisata di Mojokerto yang sekarang sudah banyak bermunculan lho, apalagi sejak pandemi ini, wisata di Mojokerto telah menjamur di setiap sudutnya. Mulai dari per caffe an alias ajang nongki sekaligus pamer anak muda hingga wisata keluarga yang merambah tak karuan di daerah selatan. Ini tentu kabar baik bagi setiap kalangan baik dari investor, pengusaha hingga masyarakat biasa yang menjadi pengunjung. Bagai dua ujung tombak, ini juga menjadi PR bagi pemerintah Mojokerto hingga masyarakat umum agar tidak melupakan wisata lokal leluhur alias kebudayaan asli Mojokerto. Wis pokok e ojo sampek gara-gara menjamur e wisata ‘Modern’ masyarakat nganti ninggalno bahkan lali karo kebudayaan lokal Mojokerto sing asline keren puol.
4. Sangat terbuka dengan sastra dan kesenian
Lagi-lagi teman saya yang cukup mengenal Mojokerto karena sempat saya ceritakan sedikit seputar kota ini berceletuk ringan “karena Mojokerto sangat kental dengan kebudayaan, pasti masyarakatnya banyak yang jadi sastrawan sampe seniman ya” sontak saya jawab “nggak juga”
Mungkin kalian berpikir kenapa saya seolah-olah merendahkan Mojokerto ya? Hehe ini murni opini dan saya tidak bermaksud merendahkan kota manapun ya. Matur nuwun.
Kembali ke percakapan saya tadi, saya spontan menjawab “nggak juga” karna sesuai pemahaman saya beberapa orang sastraawan seperti Mas Dadang Ari Murtono (penyair terkemuka) hingga Bapak Fahruddin Faiz (bapak filsafat cinta) yang lahir di Mojokerto memilih berproses ke sastraan dan keseniannya justru di luar Mojokerto. Tentu saya tidak tahu alasan spesifik mereka apa memilih hal itu. Biar hanya beliau-beliau dan Tuhan yang tahu. Selain itu, entah mengapa kesenian seperti Ludruk, Bantengan, Ujung dan Wayang Kulit yang jelas-jelas berasal dari Mojokerto sangat jauh tingkat pelestariannya ketimbang daerah-daerah lain yang cenderung melestarikannya besar-besaran dengan digandeng pemerintah serta media.
Tapi di lain itu, saya yakin masih ada beberapa kesenian dan kesastraan yang hidup di Mojokerto. Mungkin hanya tingkat eksistensinya kudu di tingkatkan, tentu dengan menggandeng banyak elemen masyarakat. Mulai dari masyarakat lokal, pemuda-pemudi, pemerintah hingga media. Mengingat tidak ada perubahan besar dari perjuangan kecil.
Penulis : Gayatri Mawar Wangi, Mahasiswi Ilmu Komunikasi/Fisip, Universitas Islam Majapahit (UNIM)
