
lenterainspiratif.com | Sejarah berdirinya PKI ( Partai Komunis Indonesia) diawali dari seorang berkebangsaan belanda bernama Hendricus Josephus Franciscus Marie Sneevliet atu sering dikenal dengan Sneevliet. ia merupakan toko sosialis belanda yang memiliki kemampuan propaganda dan penuh semangat, hal itu seperti dalam tulisan sebuah buku The Rise of Indonesian Communism karangan Ruth T. McVey.
Pada tahun 1914 Sneevliet mendirikan Serikat Buruh Kereta Api Belanda atau Nederlandse Vereniging van Spoor en Tramweg Personeel (NVSTP) di madiun Indonesia. Pada 9 Mei 1914 Henk Sneevliet mendirikan Indische Sociaal-Democratische Vereeniging (ISDV) atau Persatuan Sosial Demokrat Hindia Belanda.
Pada awal pembentukan, ISDV memiliki 85 anggota yang berasal dari dua partai sosialis Belanda, yaitu Partai Buruh Sosial Demokratis dan Partai Sosial Demokratis yang bergerak di Hindia Belanda, setahun kemudian anggotanya bertambah menjadi 134 orang. Sneevliet mempunyai sebuah misi untuk menanamkan paham marxisme-komunisme terhadap perjuangan Indonesia dalam merebut kemerdekaan.
Sneevliet menyebarkan paham komunis lewat organisasi buruh kereta api di Semarang. tak hanya itu ia juga menyebarkan ajaran komunis lewat organisasi Sarekat Islam (SI) yang kal itu menjadi organisasi yang paling populis. anggota SI yang mempelajari faham komunis pertamakali adalah Semaon, Alimin, dan Darsono.
Sejak bertemu Sneevliet pada 1914, Semaun langsung tertarik dan mulai belajar membaca serta bahasa Belanda, lalu Semaun dan rekan-rekannya berniat untuk mengubah perjuangan Sarekat Islam ke arah komunis. Namun, hal ini tentu tidak langsung diterima begitu saja oleh anggota SI lainnya, hingga akhirnya timbul perpecahan. dalam perjalananya SI terpecah menjadi dua kubu, yaitu SI Merah (komunis) dan SI Putih (agamis).
Beberapa anggota ISDV yang merangkap anggota Sarekat Islam (SI) popularitas sedang melejit. Salah satunya, Semaoen yang pada 1914, SI Surabaya yang dipimpin H.O.S. Tjokroaminoto. Tjokroaminoto merupakan guru politik Semaoen.
Semaoen kemudian memimpin SI Semarang dan mengorganisir pemogokan buruh. Ia juga menyatakan sikap perlawanan terbuka secara politik terhadap pemerintah kolonial Belanda. Sneevliet sendiri kemudian diusir dari Hindia Belanda oleh pemerintah kolonial Belanda.
ISDV kemudian bersalin nama menjadi Partai Komunis Indonesia pada Mei 1920 di Semarang. Semaoen dan Darsono berperan dalam pendirian tersebut. Semaoen terpilih sebagai Ketua, Darsono Wakil Ketua, Piet Bergsma sebagai Sekretaris, dan H.W. Dekker sebagai Bendahara. Adolf Baars, J. Stam, Dengah, C. Kraan, dan Soegono menjadi komisaris partai.
Harry A. Poeze dalam bukunya Tan Malaka : pergulatan menuju republik 1897-1925 menyebutkan bahwa Tan Malaka sempat mengusulkan nama Partai Nasional Revolusioner Indonesia. Menurut Malaka, memakai nama komunis akan membawa kerugian taktis karena bisa muncul dugaan partai itu adalah alat Rusia. Namun usul tersebut ditolak Semaoen. Tan Malaka sempat pula menggantikan Semaoen sebagai ketua PKI pada 1921.
PKI sempat melancarkan pemberontakan pada pemerintah kolonial Belanda pada 1926, tapi berhasil dipadamkan. Tokoh dan ribuan anggota PKI dibuang ke Boven Digul.
Pemberontakan PKI Di Madiun Tahun 1948
Pemberontakan PKI Madiun dipicu karena konflik antara pemerintah Indonesia dengan kelompok oposisi sayap kiri. Dalam peristiwa yang meletus pada 18 September 1948 ini, Partai Komunis Indonesia (PKI), Partai Sosialis Indonesia (PSI), Partai Buruh Indonesia (PBI), dan Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI), berusaha merebut kekuasaan karena tidak puas dengan kebijakan pemerintah.
Terjadinya Pemberontakan PKI Madiun dilatarbelakangi oleh permasalahan yang sangat kompleks. Peristiwa ini diawali dengan jatuhnya Kabinet Amir Sjarifuddin, yang tidak lagi mendapat dukungan setelah dituding membawa kerugian bagi Indonesia ketika mengadakan Perjanjian Renville dengan Belanda.
Ketika jabatan perdana menteri Amir Sjarifuddin berakhir pada 28 Januari 1948, Mohammad Hatta maju membentuk kabinet baru. Hatta sempat menawarkan posisi di kabinetnya kepada fraksi Amir, tetapi tidak terjadi kesepakatan karena pihak Amir menginginkan posisi kunci. Pada akhirnya, Hatta membentuk kabinet baru tanpa golongan sayap kiri, yang program utamanya adalah melaksanakan Perjanjian Renville dan rasionalisasi tentara Indonesia.
Kecewa dengan keputusan Hatta, golongan sayap kiri mulai masuk ke pihak oposisi dan melakukan rapat di Surakarta pada 26 Februari 1948. Rapat tersebut menghasilkan pembentukan Front Demokrasi Rakyat (FDR), yang terdiri dari PSI, PKI, PBI, Pesindo, dan SOBSI, dengan Amir Sjarifuddin sebagai pemimpinnya.
Dalam perkembangannya, FDR berubah menjadi radikal dan programnya fokus untuk menentang program Kabinet Hatta. FDR memiliki dua basis kekuatan utama, yaitu TNI-Masyarakat dan SOBSI, yang merupakan organisasi buruh terbesar dengan hampir 300.000 anggota. Kebencian terhadap pemerintah semakin bertambah saat Hatta memulai program rasionalisasi dan memandang TNI-Masyarakat sebagai organisasi militer berhaluan komunis yang tidak terlatih. FDR lantas mulai mencari dukungan dari para petani dan mendorong pemogokan buruh. Pemerintah marah dan menuding pemogokan sebagai tindakan yang membahayakan Republik.
Situasi semakin memanas saat Musso, tokoh komunis senior Indonesia yang pernah belajar ke Uni Soviet, kembali dan membentuk badan baru yang terdiri dari partai-partai sayap kiri. Mereka lantas melakukan perjalanan propaganda ke Jawa Tengah dan Jawa Timur untuk menyebarkan komunisme.
Peristiwa inilah yang dijadikan alasan untuk melancarkan kampanye anti-PKI dan melakukan penculikan perwira kiri. Memasuki September 1948, pemerintah dan golongan sayap kiri melancarkan aksi saling culik. Hingga akhirnya, Madiun menjadi daerah yang tersisa sebagai benteng terakhir FDR. Hal itu membuat pimpinan FDR lokal di Madiun khawatir sehingga pecahlah pemberontakan pada 18 September 1948.
Pemberontakan PKI Madiun baru dapat diakhiri setelah tiga bulan berlangsung, dengan kekalahan di pihak PKI. Faktor yang membuat gerakan PKI Madiun dianggap sebagai ancaman bagi keutuhan NKRI adalah PKI memproklamasikan Republik Soviet.
Untuk menghentikan pemberontakan PKI Madiun, pemerintah melakukan beberapa cara untuk mengakhiri pemberontakan, di antaranya:
1. Soekarno memperlihatkan pengaruhnya dengan meminta rakyat memilih Soekarno-Hatta atau Muso-Amir.
2. Panglima Besar Sudirman memerintahkan Kolonel Gatot Subroto di Jawa Tengah dan Kolonel Sungkono di Jawa Timur untuk menjalankan operasi penumpasan dibantu para santri.
Kemudian pada 20 September 1948 dilakukan operasi penumpasan yang dipimpin oleh Kolonel A.H. Nasution. Dalam operasi ini, Musso, Amir dan para tokoh komunis lainnya ditemukan dan dijatuhi hukuman mati.
Pemberontakan PKI di Madiun tidak menghentikan dukungan dari sebagian rakyat Indonesia. Pada 1955, PKI ikut pemilu dan berakhir menduduki posisi keempat. Dua tahun berselang, Partai Masyumi, yang merasa tersaingi, menuntut agar PKI dilarang.
Tidak berselang lama, terbentuklah Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) yang ditugaskan untuk menangkap ribuan kader PKI. Mengetahui peristiwa ini, Soekarno, yang mendukung sayap kiri mengeluarkan Undang-undang Darurat. Pada 1960, Soekarno mencetuskan slogan Nasakom (Nasionalisme, Agama, dan Komunisme). Lewat Nasakom, PKI pun dilembagakan oleh Soekarno. Namun, PKI akhirnya dibubarkan pada 1965 setelah peristiwa G30S. ( sumber https://www.kompas.com/ )