Penolakan Rumah Sakit terhadap warga Pacet hingga menyebabkan pasien tersebut meninggal dunia karena tidak mendapatkan perawatan medis menuai banyak sorotan. Mulai dari Tim Reaksi Cepet (TRC), DPRD hingga Bupati Mojokerto, ikut memberikan komentar atas kejadian tersebut.
Informasi yang berhasil dihimpun tim Lenteramojokerto.com, sampai saat ini terdapat dua kasus penolakan pasien oleh fasilitas kesehatan (Faskes) di Mojokerto. Kasus pertama dialami oleh Wahyu Syafiatin alias Titin (32) berasal dari Desa Warugunung, Kecamatan Pacet, dan yang kedua dialami oleh Nur Ali (50) warga Desa/Kecamatan Pacet, Kabupaten Mojokerto.
Gugur Setelah Berjuang Selama 5 Jam Mencari Rumah Sakit
Kasus pertama dialami oleh Wahyu Syafiatin alias Titin (32). Setelah berjuang selama 5 jam mencari faske karena ditolak 5 rumah sakit dengan berbagai alasan, ibu dua anak ini akhirnya meninggal.
Kejadian tersebut terjadi pada, Kamis (22/7/2021) dini hari. mulai pukul 01.00 sampai 06.30 WIB, Titin yang dalam kondisi kritis, berjuang selama 5 jam lebih melawan rasa sakit karena kesulitan mendapatkan tempat perawatan di rumah sakit..
Saat itu, ibu dua anak asal Desa Warugunung, Kecamatan Pacet, Kabupaten Mojokerto ini mengalami sesak napas dengan saturasi oksigen hanya 25-40 persen.
Meski begitu, 5 rumah sakit tega menolak untuk merawatnya dengan berbagai alasan. Yakni RS Dian Husada, RSI Sakinah, RS Kartini, RS Mawaddah Medika, serta RSUD Prof dr Soekandar.
Baru sekitar pukul 06.30 WIB, Titin akhirnya diterima di IGD RSI Sakinah, Jalan RA Basuni, Sooko, Kabupaten Mojokerto. Itu pun setelah kerabatnya, Edwin Riki (32) memohon ke manajemen rumah sakit tersebut sambil menyampaikan kondisi Titin yang sudah kritis.
“Saat dites swab antigen di IGD Sakinah, hasilnya positif. Hasil rontgen paru-parunya putih semua karena Corona,” ujar Riki.
Saat Titin dipindahkan ke ruang isolasi RSI Sakinah kondisinya tak kunjung membaik. Hingga akhirnya Titin meninggal dunia pada, Jumat (23/7/2021) sekitar pukul 20.30 WIB.
Ditolak 9 Rumah Sakit, Pria Asal Pacet Meninggal Dunia
Dua hari setelah meninggalnya korban pertama, kejadian serupa juga dialami Nur Ali (50). Sama-sama berasal dari Pacet, pria tersebut harus meregang nyawa usai ditolak 9 rumah sakit.
Pada saat itu kondisinya sangat kritis, ia mengalami sesak napas dengan saturasi oksigen hanya 45 persen.
Diketahui Ali dibawa ke Puskesmas Pacet, Kabupaten Mojokerto pada Minggu (25/7/2021) sekitar pukul 07.00 WIB. Saat itu ia mengalami sesak napas.
Ali dibawa kakak kandungnya, Yeti Muliah (52) keliling mencari rumah sakit menggunakan ambulans desa. Selama perjalanan Ali bernapas dibantu menggunakan oksigen.
Mirinsya, 9 rumah sakit di Kabupaten dan Kota Mojokerto menolak merawat Ali dengan alasan oksigen langka dan ruang perawatan sudah penuh.Yakni RS Sumberglagah, RSUD Prof dr Soekandar, RSI Arofah, RS Sido Waras, RS Gatoel, RSI Hasanah, RSUD dr Wahidin Sudiro Husodo, RSUD RA Basoeni, serta RS Kartini.
Pada saat perjalanan menuju RS Kartini, Mojosari sekitar pukul 10.30 WIB Ali sangat menderita lantaran oksigen yang tersedia habis.
“Adik saya sangat menderita, sesak napas, panas. Saya bawa ke RS Kartini untuk tes swab, tapi ditolak karena kondisinya sudah kolaps sehingga tak sempat tes swab,” terangnya.
Akhirnya Yeti pun memutuskan membawa Ali kembali ke Puskesmas Pacet dengan harapan segera mendapatkan asupan oksigen. Namun sayangnya ditolak karena oksigen disana sudah habis. Tak ayal hal tersebut membuat Yeti sempat tersulut emosinya.
“Saya sempat marah-marah karena sebelum berangkat mencari rumah sakit oksigen masih ada. Saat kami kembali alasannya oksigen tidak ada. Akhirnya saya bawa pulang,” ungkapnya.
Namun Yeti tak menyerah begitu saja, lantas ia meminta kepada anak-anaknya untuk berburu oksigen. Akan tetapi Ali meninggal dunia di rumahnya sekitar pukul 11.30 WIB sebelum oksigen tiba.
Yeti dan keluarganya memandikan dan memakamkan sendiri jenazah Ali. Tak satu pun tetangganya berani mendekat karena khawatir Ali meninggal akibat COVID-19.
“Kami makamkan dengan cara biasa (Tanpa prokes) di pemakaman umum Dusun Pacet Utara. Sampai sekarang tidak ada petugas yang datang untuk melakukan tracing,” tandasnya.
TRC Beri Peringatan Keras
Kasus kematian dua orang pasien kritis di Mojokerto yang tidak bisa mendapatkan pertolongan medis karena ditolak oleh rumah sakit terdengar oleh Tim Reaksi Cepat (TRC) Dinkes Kabupaten Mojokerto. TRC langsung bereaksi dengan memberikan teguran keras kepada pihak rumah sakit.
Langit Kresna Janitra, Koordinator TRC, mengaku sebelumnya ia tidak menerima aduan tentang adanya dua pasien kritis asal Pacet yang meninggal dunia karena di tolak oleh beberapa rumah sakit dan puskesmas. Untuk itu ia pun menegaskan bahwa semua fasilitas kesehatan dilarang keras menolak pasien.
“Setelah mendengar itu, kami langsung memberi teguran kepada Faskes terdekat. Penolakan Pasien tidak dibenarkan. Pasien harus dilayani untuk penanganan pertama,” katanya, Selasa (27/7/2021).
Langit menjelaskan, kurangnya ketersedian tempat tidur atau keterbatasan tempat tidur tidak bisa menjadi alasan faskes untuk menolak pasien. Apalagi, lanjutnya, pihak puskesmas atau rumah sakit bisa berkoordinasi dengan TRC.
“Tidak ada laporan atau yang menghubungi TRC pada waktu itu. Puskesmas harus lapor ke kita, nanti kita yang mencarikan. Sementara pasien ditangani di Puskesmas untuk pertolongan pertama, jangan sampai ditolak,” tandasnya.
Bupati Mojokerto Turut Soroti
Bupati Mojokerto Ikfina Fahmawati pun tidak ingin ketinggalan untuk turut menimpali kejadian tersebut. Terkait penolakan pasien tersebut, ia mengatakan bahwa sebenarnya Dinas Kesehatan (Dinkes) Kabupaten Mojokerto, sudah memiliki Tim Reaksi Cepet (TRC) yang bertanggung jawab untuk menangani kesulitan masyarakat mencari rumah sakit.
“Segala sesuatu itu bisa dimasukkan ke TRC, nanti TRC yang ngatur. Karena yang tahu potensi kosong atau tidaknya (tempat tidur) itu TRC,” katanya.
Ikfina juga menjelaskan, bahwa di rumah sakit terkadang juga tersedia tempat tidur (TT), akan tetapi tenaga kesehatannya (nakes) kurang atau ketersediaan oksigen menipis.
“Oksigen yang ada biasanya hanya bisa memenuhi untuk kebutuhan sehari, dapat oksigen untuk 28 jam kedepan,” jelasnya.
Sementara itu, saat disinggung terkait sanksi yang diberikan terhadap RS atau Puskemas yang menolak pasien, Ikfina tidak berkenan untuk menjawab.
“Nanti kita akan arahkan masyarakat kalau memang pantas di rumah sakit, maka kita akan menggeser pasien yang sudah tertangani oleh rumah sakit ke puskesmas. Sementara itu yang kita lakukan,” pungkasnya.
Dewan Ikut Berkomentar
Setelah mendapatkan sorotan dari Bupati Mojokerto Ikfina Fahmawati, kasus ditolaknya pasien oleh fasilitas kesehatan (faskes) hingga membuat pasien tersebut meninggal karena tidak mendapatkan perawatan medis, turut menjadi perhatian anggota dewan.
Dalam hal ini, Anggota Komisi IV Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Mojokerto Amirudin mengatakan, tidak dibenarkan ketika ada rumah sakit menolak pasien yang mencari pelayanan kesehatan, khususnya jika pasien tersebut dalam kondisi kritis.
“itu sudah jelas mas, tak boleh penolakan pasien. Rumah sakit wajib memfasilitasi pasien yang datang untuk berobat,” ucapnya pada Lenteramojokerto.com melalui pesan WhatsApp.
Lebih lanjut, Anggota dewan dari fraksi PKB tersebut juga menjelaskan bahwa saat ini Kabupaten Mojokerto sudah memiliki Tim Reaksi Cepet (TRC) yang bertanggung jawab untuk menangani kesulitan masyarakat mencari rumah sakit.
“Sedapat mungkin bisa dikomunikasikan. karena saat ini, Mojokerto sudah punya TRC. Mudah-mudahan tidak ada kejadian seperti itu lagi.
Masih kata Amir, ia juga meminta agar masyarakat agar memahami situasi yang dalam kondisi pandemi. Ia juga berpesan agar senantiasa memakai prokes agar pandemi segera berakhir
“ Tetapi juga harus bisa saling memahami terkait situasi seperti sekarang. Semoga pandemi segera berakhir dan jangan lupa taat prokes,” pungkasnya.
Perlu diketahui bersama, Menurut Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 Pasal 32 ayat 2, dalam keadaan darurat fasilitas pelayanan kesehatan, baik RS Pemerintah maupun RS Swasta dilarang menolak dan atau meminta uang muka terhadadap pasien. Pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan atau tenaga kesehatan yang melanggar bisa dikenakan pidana penjara maksimal 2 tahun dan denda maksimal Rp. 200 juta. (diy)