
lenteramojokerto.com | Video penggerebekan markas ISIS yang diunggah oleh akun Twitter @Natsecjeff pada Sabtu (29/8) mendadak viral, ada empat video yang diunggah oleh @Natsecjeff. Disebutkan video penggeledahan ini direkam di Provinsi Al Bayda, Yaman.
Dalam Salah satu video merekam pemberontak Houthi tengah menggeledah sebuah rumah dengan bendera teroris itu, dalam video terekam militan Houthi menemukan sebuah KTP warga negara Indonesia dan lembaran uang pecahan rupiah yakni Rp 10.ppp, Rp 5.000, dan Rp 2.000, hal ini sontak mengejutkan warga net.
KTP yang ditemukan di sarang ISIS itu tertulis nama Syamsul Hadi Anwar, warga Japan Raya Jalan Basket blok NN 15, RT 1 RW 12, Desa Japan, Kecamatan Sooko, Kabupaten Mojokerto, dan memiliki masa berlaku yang sudah kadaluarsa 24 Desember 2013, namun KTP tersebut nampak bukan seperti KTP elektronik.
Kepala BNPT Komjen Boy Rafli Amar mengatakan Syamsul Hadi merupakan salah satu orang dari kelompok Ibnu Mas’ud. Dia adalah tokoh penting di Suriah.
“Syamsul Hadi alias Abu Hatim Al Sundawy Al Indonesy ini, orang Ibnu Mas’ud. Termasuk tokoh penting di Suriah,” kata Boy sebagaimana dilansir dari detikcom, Senin (31/8/2020).
Boy kemudian menjelaskan sejumlah poin penting mengenai penyerangan kelompok Houthi ke basis ISIS di Bayda, Yaman. Klaim penyerangan Houthi ini juga disebut merupakan klaim dari tentara pemerintah Yaman bahwa telah menyerang kelompok baik yang berbasis Al Qaeda dan ISIS pada pertengahan Agustus di Bayda, Yaman.
“‘Protracted civil war’ di Yaman adalah daya tarik munculnya berbagai kelompok teroris di Yaman, salah satunya dengan munculnya ISIS. Oleh karena itu, dengan kekalahan ISIS di Suriah dan Irak menyebabkan sejumlah ‘fighters’ yang relokasi (relocating),” ujar Boy.
Dengan ditemukannya uang rupiah dan KTP itu, menunjukkan bahwa Foreign Terrorist Fighters (FTF) telah mengalami kekalahan dan melakukan perpindahan tempat.
“Video di atas dengan ditemukan ‘uang rupiah termasuk KTP’ menunjukkan bahwa FTF asal Indonesia juga melakukan ‘relokasi’ daerah perang. Secara umum permasalahan FTF bukan saja menyangkut masalah ‘returnees’/kembali tapi juga menyangkut masalah ‘relocators’/relokasi. Hal ini juga menunjukkan terjadi perpindahan ‘fighters’ dari satu wilayah ke wilayah lainnya, khususnya negara-negara yang memiliki konflik internal,” ujar Boy.
Boy mengatakan Indonesian telah menyiapkan sejumlah strategi untuk menyikapi relokasi para FTF ini, hal itu juga tertulis dalam UU Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
“Perpindahan FTF (baik yang disebut sebagai ‘returnees’ dan ‘relocators’) yang relatif mudah antar negara perlu diperkuat kerja sama internasional melalui ‘border control’ – data Interpol 24/7 menjadi penting untuk mengidentifikasi individu-individu yang terlibat sebagai FTF,” ujar Boy.
“Kita telah memiliki strategi PRR (prosecution, rehabilitation, and reintegration) yang efektif dalam menghadapi FTF returnees dan relocators. Kalau untuk Indonesia justru UU No 5/2018 dibentuk untuk menghadapi returnees (asal Indonesia), contoh ada pasal 12 (b) dan ada terkait pasal mengenai deradikalisasi (malah PP No.77/2019 – menyebut soal individu/kelompok yg berjuang di luar negeri). Indonesia memiliki lengkap dalam strategi PRR-nya,” sambung Boy. (lai)